Medan, Ruangpers.com – Mantan aktivitis buruh Internasional, Rekson Silaban, meluncurkan buku “Rekson Silaban, Pergerakan Tanpa Batas”, pada Selasa (9/2/2021) sore lalu, mulai pukul 15.00 – 17.00 WIB, di Habitat Café, Jalan Abdullah Lubis No. 14, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan.
Acara tersebut dihadiri kalangan akademisi, perwakilan instansi pemerintah, organisasi buruh dan juga senior Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Dan selain offline, juga dilakukan live zoom meetings.
Bertindak sebagai panelis yaitu Rektor Unika Santo Thomas, Prof Sihol Situngkir, Rektor Universitas Simalungun (USI), Dr Corry Purba dan Shohibul Ansor Siregar, Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), serta Hanif Dakhiri (mantan Menteri Tenaga Kerja) dan Yudi Latif (mantan Kepala BPIP).
Rekson Silaban yang juga mantan Ketua Cabang GMKI Pematangsiantar – Simalungun ini, menjelaskan perjalanan karirnya dan menceritakan sosok penulis buku ini yaitu, Marim Purba dan Sabam Sopian Silaban.

Dikatakan pria kelahiran 8 Mei 1966 ini, bahwa buku ini didedikasikan kepada semua orang yang percaya, bahwa keberpihakan, keadilan, kerjasama líntas peradaban dunia bisa lebih baik.
Ditegaskannya, buku ini bukan untuk pamer keberhasilan dan kehebatan, tapi untuk berbagi ide dan semangat.
“Dimanakah tempat orang gerakan, ketika semua sudah diambil alih negara? Nyaris semua yang dula diminta sudah eksis (demokrasi yang terlembaga, kebebasan pers, badan anti korupsi, perlindungan perempuan dan anak, ombusdman, perlindungan konsumen, dan sebagainya).
Kapitalisme dan mantra pertumbuhan ekonomi melahirkan banyak defisit kemanusiaan, eksploitasi lingkungan, perlombaan efesiensi melahirkan ketimpangan, kemiskinan, dan degradasi lingkungan, “ujarnya.

Salah satu syarat munculnya gerakan adalah pergerakan memerlukan musuh bersama, sebagai penyebab ketidakpuasan (discontent). Inilah pemicu lahirnya koalisi, ujarnya.
Masih kata Rekson dalam sambutannya, bahwa saat ini, musuh menjadi terlalu besar dan abstrak, aliansi jadi meluas, kapasitas berjaringan menjadi keniscayaan.
Kegagalan merumuskan lawan dan memenuhi kompetensi yang diprasyaratkan untuk aktivis masa kini, yang lebih rumit, sering memunculkan permusuhan antar sésama aktivis. Perang antar aktivis!
Apakah gerakan masih relevan? Masih! Karena selalu ada korban globalisasi, rakyat terpinggirkan akibat kalah berkompetisi. Selalu ada negeri yang memerlukan solidaritas global, masih ada planet yang harus kita selamatkan, ujarnya.

Menurutnya, masalah yang dihadapi sebuah negará banyak berakar dari tata kelolo internasional, aktivis tidak bisa berhenti sebagai nasionalis saja, tapi juga harus memiliki sense internasionalist. Memahami isu internasional berarti Ikut terlibat didalamnya dan mengadopsi beberapa kultur global, non diskriminasi, gender balance, anti xenophobia, climate change issue, tata Kelapa global multilateral, kemampuan bahasa, dan lainnya.
Prasyarat untuk aktivis terlalu tinggi, sementara jaminan untuk hidup kaya tidak tersedia, itu sebabnya para aktivis banyak berubah jadi realis, masuk ke dalam sistem, berjuang dari sana, ungkapnya.
Dalam sejarah pergerakan itu tidak salah, karena pada hakikatnya, tugas setiap aktivis hanya ada dua yaitu menentang pemerintah atau membantu pemerintah, tegasnya.
Para peserta yang hadir, mengapresiasi peluncuran buku “Rekson Silaban, Pergerakan Tanpa Batas” ini karena sangat memotivasi masyarakat, khususnya para pemuda, mahasiswa dan juga aktivis agar lebih bersemangat dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan ikut bertanggung jawab membangun Indonesia, melalui kegiatan-kegiatan yang nyata dan positif.
(red)