Jakarta, Ruangpers.com – Mitos telah hidup di sekitar masyarakat sejak lama. Wujudnya macam-macam. Bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin masih ada yang mengingat bagaimana orang tua melarang kita keluar rumah pada saat senja atau lebih tepatnya menjelang Magrib.
“Jangan keluar saat Maghrib, nanti kesambet setan,” ungkapan itu mungkin akrab di telinga kita. Atau, “sebelum Maghrib harus sudah sampai di rumah, nanti diculik Kuntilanak!”
Berbagai larangan yang disampaikan oleh orang tua kita itu bisa jadi merupakan ungkapan turun-temurun yang kemudian dibumbui berbagai cerita hingga pada akhirnya menjadi mitos. Tidak seperti hoaks, orang zaman dahulu menerapkan mitos sebenarnya bertujuan baik.
Sama halnya dengan keberadaan Kuntilanak yang akan terus menghantui masyarakat Indonesia. Ada yang begitu percaya dan bahkan pernah mengalami sendiri melihat penampakan Kuntilanak. Ada yang menganggap mitos tapi mematuhi anjuran-anjuran dari orang tua untuk menghindarinya.
“Aku nggak ngambil Kuntilanak secara khusus, ya. Tapi, di dalam antropologi itu ada studi khusus yang namanya folklor. Jadi studi folklor ini memang sengaja memahami dongeng, cerita, legenda, juga mitos,” ujar dosen Antropologi Unair, Delta Bayu Murti kepada detikJatim, Senin (27/2/2023).
Mitos yang berkembang secara turun-temurun, menurut Bayu, juga merupakan bagian dari budaya. Produk atau buah pikiran masyarakat yang hidup bersama-sama.
“Dongeng, cerita, legenda, atau mitos yang berkembang di masyarakat ini kan bentuk atau hasil masyarakat memahami lingkungan, ya. Pastinya di dalam bentuk ini juga ada maknanya, termasuk makna pendidikan,” ujarnya.
Dia mencontohkan tentang larangan keluar pada saat Magrib. Secara budaya yang berkembang di masyarakat Jawa, larangan itu tidak hanya berkaitan dengan keberadaan demit atau setan atau hantu belaka.
“Nggak cuma di Jawa, di Asia Tenggara itu masyarakat percaya bahwa Magrib atau surup itu adalah momen pergantian waktu siang dan malam. Nah, bagi masyarakat itu peralihan waktu ini dimaknai sebagai titik krusial atau titk rawan. Makanya dilarang keluar di waktu itu,” katanya.
Berkaitan dengan Kuntilanak sendiri, cerita yang berkembang bahwa hantu perempuan yang penasaran itu mencari mangsa perempuan hamil dan anak-anak. Terutama mereka yang keluar pada saat Magrib.
“Mungkin sebagian masyarakat ada yang mengalami, tapi buat yang sedang hamil ‘jangan keluar nanti disasar Kuntilanak’ ini mungkin maksudnya bukan larangan untuk keluar, tapi lebih kepada anjuran bahwa orang hamil itu perlu cukup istirahat, misalnya. Supaya tidak terlalu sering beraktivitas keluar rumah,” ujarnya.
Dia pun menyatakan bahwa kemungkinan orang Jawa pada zaman dahulu karakternya memang sangat sulit diberitahu. Selalu membantah penuturan orang tua, hingga akhirnya diciptakan larangan-larangan dengan bumbu cerita yang menakutkan dan punya efek jera.
“Orang Jawa itu, mungkin lainnya juga, ya, lek dikandani kan angel (kalau dikasih tahu susah). Akhirnya ditambahi dengan sesuatu yang membuat mereka takut, supaya mereka beneran nggak melakukan itu. Lek dikandani biasa itu kan nggak ngerungokno, makane ditambahi den-denan, ben temenan nggak ngelakoni iku (kalau diberitahu biasa itu tidak mendengarkan, karena itu ditambahi cerita menakutkan, biar betul-betul tidak melakukan),” ujarnya.
Bayu menyimpulkan bahwa sebenarnya mitos maupun hantu-hantu menyeramkan yang dikenalkan oleh orang-orang dahulu sebenarnya bertujuan baik untuk menjaga agar setiap anak bisa menjaga diri, dan tidak berperilaku tidak melebihi batas kewajarannya.
“Iya, kan? Lepas dari ada Kuntilanak atau nggak, itu kan cerita itu disampaikan dengan niat yang baik. Sekali lagi tadi, di luar banyaknya cerita dari warga yang mengaku mengalami itu, yang hamil lalu digondol sama kuntilanak,” katanya.
Sumber : detik.com