Medan, Ruangpers.com – Danau Toba menyimpan sejumlah keindahan sebagai destinasi wisata bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Di balik keindahan alam dan budaya, di sekitar Danau Toba terdapat juga peninggalan yang menyimpan kisah mengerikan di masa lalu.
Destinasi wisata di Danau Toba itu adalah Batu Persidangan keluarga orang Batak bermarga Siallagan. Batu Persidangan itu terdapat di Huta Siallagan di Ambarita, Kabupaten Samosir.
Batu Persidangan sendiri merupakan deretan kursi dan meja yang terbuat dari batu. Terdapat 9 kursi di Batu Persidangan yang mengelilingi satu meja yang terdapat di bagian tengah.
Di sekitar Batu Persidangan, terdapat rumah Bolon atau rumah adat Batak sebanyak 8 rumah yang sudah berumur ratusan tahun. Rumah Bolon itu memiliki sejumlah fungsi, mulai rumah Raja Siallagan dan keluarga hingga tempat pemasungan bagi pelaku kejahatan.
Konon dulu, ketika ada pelaku kejahatan di Huta Siallagan bakal disidang di Batu Persidangan. Dalam prosesi persidangan, Raja Siallagan akan memimpin persidangan langsung dan didampingi oleh dukun.
Jika tindak kejahatan pelaku dinilai kecil, maka hukumannya berupa pemasungan di salah satu rumah Bolon tersebut. Namun jika kejahatannya tergolong kejahatan berat maka pelaku akan dijatuhi hukuman pancung alias potong kepala.
Pemandu Wisata di Huta Siallagan, Jansen Sitinjak, mengatakan tanggal eksekusi bakal ditentukan berdasarkan hari terlemah bagi penjahat itu. Sebab, rata-rata pelaku kejahatan diyakini memiliki ilmu hitam.
“Tanggal eksekusi pun akan ditentukan dari hari paling lemah si penjahat atau hari baiknya kapan. Pasalnya, rata-rata orang yang berani melakukan kejahatan diyakini punya ilmu hitam. Disini dikenal namanya Manitiari atau primbon Suku Batak,” kata Jansen Sitinjak dikutip dari laman indonesia.go.id, Kamis (6/6/2024).
Di hari eksekusi, pelaku kejahatan bakal diletakkan di atas meja Batu dengan mata tertutup kain ulos. Pelaku kejahatan kemudian diberi makanan berisi ramuan dukun untuk melemahkan ilmu hitam pelaku kejahatan.
Kemudian pelaku kejahatan akan dipukul menggunakan tongkat tunggal panaluan. Yaitu tongkat magis dari kayu berukir gambar kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa rambut panjang.
Sementara saat dieksekusi, pakaian pelaku kejahatan terlebih dahulu dilepaskan untuk memastikan tidak ada jimat yang masih tersisa. Tubuh pelaku kemudian disayat-sayat dan jika sudah mengeluarkan darah, maka ilmu kebal pelaku sudah hilang.
Bagian tubuh yang disayat dan mengeluarkan darah bakal disiram dengan air asam untuk membuat pelaku kejahatan semakin lemah. Setahun itu eksekusi pancung akan dilaksanakan,
Konon, jantung dan hati pelaku kejahatan akan dimakan oleh sang raja karena diyakini dapat menambah kekuatan. Sementara kepala pelaku kejahatan akan diletakkan di meja, demikian juga badan yang sudah terpisah dengan kepala.
Badan pelaku kejahatan kemudian dibuang ke Danau Toba semalam 7 hari 7 malam. Selama itu pula, rakyat dilarang untuk beraktivitas di dalam Danau Toba.
Sementara kepala pelaku akan diletakkan di gerbang masuk Huta Siallagan sebagai peringatan ke raja lain maupun rakyat agar tidak melakukan kejahatan yang serupa. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan di balik kampung dan rakyat akan dilarang beraktifitas di hutan selama 3 hari.
Menurut Jansen penghukuman seperti itu sudah berakhir di abad ke-19. Saat itu, agama Kristen sudah mulai masuk ke Kawasan Danau Toba melalui misionaris asal Jerman, yaitu Ludwig Ingwer Nommensen.
Kini Huta Siallagan bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata favorit di sekitar Danau Toba. Kisah mengerikan itu kini sudah hilang dan Huta Siallagan menjadi desa wisata dengan masyarakat nya yang ramah.
Sumber : detik.com