Medan, Ruangpers.com – Kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi menggelar konferensio pers jelang sidang.
Konferensi pers ini digelar pada Rabu (12/10/2022) sore. Diketahui, Ferdy Sambo Cs bakal duduk di bangku pesakitan mulai Senin (17/10/2022) nanti.
Kini para pengacara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi mengungkapkan pembelaan sebelum diungkap detail di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nanti.
Dimulai dari pernyataan Arman Hanis, pengacara yang sejak awal mendampingi Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Arman meminta jaksa untuk melengkapi berkas dakwaan kliennya antara lain hasil ahli psikolog forensik, hasil lie detector, hasil uji balistik, dan keterangan ahli ahli.
Ia berharap kekurangan dalam berkas dakwaan kliennya dilengkapi sebelum persidangan.
“Hal ini sangat menentukan untuk mewujudkan apakah persidangan dapat dilakukan secara objektif atau tidak ke depan,” ujar Arman Hanis, Rabu (12/10/2022).
“Tim kuasa hukum berharap selain pembuktian fakta-fakta di persidangan kepatuhan pelaksanaan hukum acara yang berlaku sangat penting agar harapan kita semua bahwa persidangan dapat terwujud secara fair trial (hak atas peradilan yang adil).”
Arman lebih lanjut juga meminta semua pihak menghormati proses peradilan yang dijalankan kliennya dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J.
“Kami juga berharap pada semua pihak agar menghormati proses peradilan, menghargai independensi dan imparsialitas hakim,” ucap Arman Hanis.
“Sehingga tidak terjadi proses penghakiman sebelum persidangan dilakukan.”
Febri Diansyah, turut menambahi pernyataan Arman Hanis terkait kasus yang dihadapi kliennya yakni Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Ia memulai dengan adanya Justice Collaborator (JC) dalam perkara kliennya. Menurutnya, seorang JC harus mengakui perbuatannya terlebih dahulu dalam perkara yang disangkakan.
Juctice Collaborator diperkara Ferdy Sambo adalah Bharada E.
Atas dasar itu, Febri menekankan kepada Bharada E untuk tidak berpikir hanya menyelamatkan diri sendiri.
“Seorang JC tidak boleh hanya menggunakan label JC tersebut untuk menyelamatkan diri sendiri. JC bukan sarana untuk menyelamatkan diri sendiri,” kata Febri.
Bicara soal Juctice Collaborator, kata Febri, harus dipahami JC adalah pelaku yang bekerja sama dalam kejahatan. Maka, pelaku berstatus JC wajib terlebih dahulu mengakui perbuatannya.
“Kalau ada seorang JC yang justru menyangkal perbuatannya maka tentu patut kita pertanyakan,” kata Febri.
Tak hanya itu, Febri menegaskan seorang JC juga tidak boleh berbohong apalagi tidak konsisten dalam keterangannya di segala tingkat pemeriksaan.
Dalam keterangannya, Febri juga mengungkapkan soal Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi yang mengaku telah membuat kekeliruan pasca tewas Brigadir J.
Kekeliruan itu adalah membuat skenario palsu tewasnya Brigadir J.
Dari gambaran Febri, Ferdy Sambo membuat skenario palsu karena Bharada E salah menjalankan perintah hajar menjadi tembak Brigadir J.
“Perintah FS saat itu yang dari berkas yang kami dapatkan, hajar chard, namun yang terjadi penembakkan saat itu,” ungkap Febri.
Ferdy Sambo panik, lanjut Febri, kemudian mengambil senjata milik Brigadir J dan menembakan ke dinding.
“Tujuan pada saat itu adalah menyelamatkan RE yang diduga melakukan penembakan sebelumnya dan juga tujuannya pada saat itu adalah seolah-olah memang terjadi tembak menembak,” kata Febri.
“Dan kita tahu itu adalah salah satu fakta dalam fase kedua yang bisa kita sebut sebagai skenario atau fase kebohongan tersebut.”
Klaim Selamatkan Bharada E
Pengacara Keluarga Ferdy Sambo, Febri Diansyah, mengatakan kliennya mengatakan skenario bohong yang dibuat Ferdy Sambo untuk menyelamatkan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E yang keliru menjalankan perintah hajar menjadi tembak ke Brigadir J.
Ferdy Sambo, kata Febri, seketika mengambil senjata milik Brigadir J yang berada di pinggang dan menembakkan ke arah dinding.
Hal itu dilakukan seolah-olah yang terjadi adalah tembak menembak.
“Tujuan pada saat itu adalah menyelamatkan RE yang diduga melakukan penembakan sebelumnya dan juga tujuannya pada saat itu adalah seolah-olah memang terjadi tembak menembak,” kata Febri, Rabu (12/10/2022).
“Dan kita tahu itu adalah salah satu fakta dalam fase kedua yang bisa kita sebut sebagai skenario atau fase kebohongan tersebut.”
Untuk memperkuat skenario atau fase kebohongan tersebut, Febri menambahkan kliennya juga mengubah tempat terjadinya kekerasan seksual di Magelang seolah-olah di Duren Tiga.
“Kemudian FS meminta ADC dan Ibu Putri dan lainnya menyebut seolah-olah peristiwa di Magelang, peristiwanya sebenarnya terjadi di Magelang, nanti dalam bukti-bukti yang lebih rinci baru bisa kami sampaikan di persidangan,” ucap Febri.
“Peristiwanya sebenarnya terjadi di Magelang pada 7 Juli 2022 tapi seolah-olah dipindahkan lokasinya ke Duren Tiga demi mendukung skenario tembak menembak tersebut.”
Dalam rangkaian skenario kebohongan kliennya, Febri juga menuturkan ada proses pengambilan CCTV di pos satpam di Duren Tiga.
Tak hanya itu, Febri mengatakan Ferdy Sambo juga memperkuat narasi kebohongannya kepada penyidik hingga rekan sejawatnya.
Baca Juga : Sarmauli Bakal Bawa Motif Pelecehan di Persidangan, Pengacara Keluarga Yosua Sudah Siapkan Bantahan
“Jadi secara terbuka Pak Ferdy Sambo juga menjelaskan ada beberapa kekeliruan-kekeliruan, beberapa perbuatan yang terjadi di fase kedua ini,” ujar Febri.
“Namun jangan sampai upaya untuk mencari kebenaran, upaya untuk mencari keadilan menjadi tereduksi karena kita mencampuradukkan fase kedua dengan ketiga.”
Untuk diketahui, fase kedua yang dimaksud Febri Diansyah adalah fase di mana ada skenario untuk menutupi peristiwa yang sesungguhnya.
Sementara fase ketiga adalah proses penegakan hukum untuk kasus yang dihadapi kliennya.
Sumber : tribunnews.com