Pematangsiantar, Ruangpers.com – Indeks Kota Toleran 2020 yang dirilis Setara Institute, pada Kamis (25/2/2021), diharapkan menjadi pelajaran berarti bagi Pemerintah Kota (Pemko) dan termasuk masyarakat Pematangsiantar.
Jika di Tahun 2018 lalu, Kota Pematangsiantar masih masuk 10 kota toleran di Indonesia, maka di Tahun 2020 ini, Kota Pematangsiantar malah tidak masuk hitungan.
Hal itu sangat disayangkan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPC GAMKI) Kota Pematangsiantar, Hendra Simanjuntak, MPd, saat dikonfirmasi Ruangpers.com, Kamis malam (25/2/2021) melalui WhatsApp.
“Ini jelas menjadi cambuk bagi Pemko Siantar, dan tentu ada yang salah atau ada yang harus diperbaiki agar Siantar kembali menjadi kota toleran,”ungkapnya.
Masih katanya, hal ini juga menjadi pelajaran bagi masyarakat Kota Pematangsiantar agar tetap menghormati kemajemukan, perbedaan agama maupun suku, sehingga Kota Pematangsiantar tetap kondusif dan nyaman.
Seperti informasi yang dihimpun Ruangpers.com, bahwa 10 Kota Tolaren 2020 yang dirilis Setara Institute, yaitu, diposisi pertama ditempati Salatiga (skor 6.717), disusul Singkawang (skor 6.450), kemudian Manado (skor 6.200), dan disusul Tomohon (skor 6.183), lalu Kupang (skor 6.037), selanjutnya Surabaya (skor 6.033), dan setelahnya Ambon (skor 5.733). Kemudian Kediri (skor 5.583) dan dilanjutkan Sukabumi (skor 5.546) dan terakhir atau posisi ke 10, ditempati Bekasi (skor 5.530).
Seperti dilansir dari kompas.com, Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengungkap sejumlah atribut yang harus dimiliki kota toleran.
“Kota yang memiliki rencana dan kebijakan pembangunan yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi,” kata Halili, dalam konferensi pers daring, Kamis (25/2/2021).
Kemudian, tindakan pejabat di kota tersebut juga harus kondusif bagi praktik toleransi. Ketiga, kota toleran memiliki tingkat pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang rendah atau tidak ada sama sekali. Terakhir, kota toleran harus menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas warganya. Dalam studi ini, Setara menetapkan empat variabel dengan delapan indikator.
Variabel regulasi pemerintah kota memiliki indikator yakni, RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya serta kebijakan diskriminatif.
Variabel kedua adalah tindakan pemerintah. Indikatornya terdiri dari, pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan tindakan nyata terkait peristiwa.
Regulasi sosial menjadi variabel berikutnya dengan indikator peristiwa intoleransi serta dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi. Terakhir, demografi agama.
Baca Juga : Demi Jaga Toleransi, GAMKI Minta Masalah 4 Nakes RSUD Jangan Dibenturkan dengan Agama
Halili mengungkapkan, variabel itu mencakup indikator heteregonitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan.
“Scoring dalam studi ini menggunakan skala numerik 1-7, artinya dia gradasi dari kualitas buruk ke baik, 1 itu paling buruk, 7 itu paling baik,” ungkapnya.
Adapun total terdapat 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia yang menjadi objek kajian dalam studi ini.
Setara menggabungkan kota-kota administratif di DKI Jakarta menjadi satu unit. Sebab, kota administratif tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan daerah.
(red)