PENGATURAN RISIKO DAN PEMBATALAN PERJANJIAN
DALAM KUH PERDATA
OLEH: CLAUDIA FEBRIYANTI SIANTURI
Pengaturan risiko dalam KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menunjukkan bahwa hukum perdata Indonesia memberikan perlindungan terhadap para pihak yang terlibat dalam perjanjian, terutama dalam hal terjadi keadaan memaksa atau kejadian yang tidak terduga. Pembagian tanggung jawab risiko antara debitur dan kreditur memperjelas kapan salah satu pihak harus memikul kerugian akibat kejadian di luar kendali mereka.
Namun, konsep ini masih tampak kaku, terutama dalam konteks bisnis modern yang sering kali lebih kompleks dan dinamis. Seiring berkembangnya ekonomi dan teknologi, ada kebutuhan untuk meredefinisi atau memperluas pengaturan risiko ini agar lebih adaptif terhadap tantangan-tantangan baru.
Menurut berbagai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), seperti Pasal 1237, 1460, dan 1545, risiko dalam perjanjian tidak semata-mata ditanggung oleh satu pihak, melainkan dapat bergeser tergantung pada situasi tertentu seperti kelalaian, penghancuran barang, atau keadaan memaksa.
Kemudian Pembatalan perjanjian dapat dilakukan karena tidak terpenuhinya unsur-unsur dasar seperti kecakapan hukum, adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan menunjukkan pentingnya keadilan kontraktual dalam hukum perdata. Namun, ketentuan ini masih memberi ruang bagi penafsiran subjektif dalam beberapa kasus.
Misalnya, dalam penentuan apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai penipuan atau tidak, dibutuhkan bukti yang cukup yang kadang sulit diperoleh, sehingga proses pembatalan seringkali memakan waktu. Selain itu, ketentuan yang menyebutkan bahwa pembatalan harus dilakukan melalui putusan hakim menunjukkan adanya kompleksitas birokrasi hukum di Indonesia, yang dapat menjadi penghalang bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan keadilan dengan cepat.
Pembagian perikatan yang lahir dari undang-undang, baik yang terjadi karena perbuatan seseorang maupun perbuatan melawan hukum, memperlihatkan bahwa undang-undang bertujuan untuk mengatur tanggung jawab sosial antarindividu.
Perikatan yang timbul dari undang-undang, baik karena perbuatan orang atau perikatan keluarga, juga diatur dengan jelas dalam KUHPerdata. Terutama perwakilan sukarela (zaakwaarneming) dan pembayaran tanpa utang (onverschuldigde), yang merupakan contoh perikatan yang timbul karena perbuatan hukum dan non-hukum. Perbuatan melawan hukum, seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, menunjukkan bagaimana hukum memberikan jalan untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar hukum atau kewajiban seseorang.
Peraturan mengenai perbuatan melawan hukum dalam KUHPer yang mengharuskan adanya unsur kerugian, kesalahan, serta hubungan sebab-akibat antara tindakan dan kerugian yang ditimbulkan, memperkuat prinsip tanggung jawab individu atas tindakan yang dilakukan.
Namun, dalam praktiknya, membuktikan kesalahan dalam suatu perbuatan melawan hukum sering kali menjadi tantangan besar, terutama jika ada ketidakjelasan dalam hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Oleh karena itu, penguatan pada aspek pembuktian dan penyederhanaan prosedur hukum sangat diperlukan untuk mempercepat proses keadilan. (TUGAS OPINI, MATA KULIAH HUKUM PERDATA LANJUTAN)
(*)